Rabu, 09 Januari 2013

Katanya RSBI Dibubarkan

Sudah lama saya tidak menuliskan topik pendidikan. Kali ini, tidak bisa tidak, saya diharuskan menuliskan perubahan besar yang terjadi di dunia pendidikan kita: RSBI/SBI "bubar". RSBI adalah kepanjangan dari Rintisan Sekolah Berstandar Internasional.

Jagad dunia maya nasional langsung "memanas" ketika berita ini diluncurkan. Sebagai bukti, cari saja kata RSBI di www.kompasiana.com. Saya pribadi adalah salah satu pihak yang tidak setuju terhadap praktik RSBI/SBI. Saya tekankan hal tersebut karena sejatinya alasan/ide Pak Mendikbud tentang RSBI sangat saya sepakati, yakni memberi ruang/peluang pada sekolah negeri untuk menspesialisasikan diri menjadi sekolah dengan kualitas yang lebih tinggi (standar internasional), yang mana hal ini dibuka cukup lebar pada sekolah swasta. Namun, sebagaimana banyak masalah yang terjadi di tanah air, letak kelemahan terdapat pada penulisan konsep perundangan dan lebih2 praktik di lapangan yang banyak "menyimpang".

Sesungguhnya yang diputuskan bukan RSBI dibubarkan (serem banget kalo hal ini sampai terjadi), tetapi sistem RSBI dihapuskan dan label RSBI menjadi tidak punya lagi landasan hukum. Tentang putusan MK secara lengkap, dapat diunduh di situs resmi MK.

Apa sih yang berbeda?
Pertanyaan ini hanya bisa saya jawab dengan cara meraba-raba/menebak-nebak. Hal yang pertama, yang diungkapkan seorang penanggungjawab SBI, adalah kurikulum. Jika sekolah negeri umumnya menggunakan standar kurikulum BSN, maka SBI menggunakan standar lain dari Kemendikbud. Perbedaan ini secara nyata dapat dilihat dari jumlah jam pelajaran.

Yang menjadi hal yang identik dengan SBI adalah manajemen keuangan sekolah. Pihak sekolah diperbolehkan memungut dana yang lebih tinggi kepada para wali murid. Alasannya cliche, kualitas berbanding lurus dengan pendanaan.


Tentang fasilitas (dan layanan), seharusnya sih tidak ada yang istimewa. Bila ada, itu semata-mata dikarenakan SDM-nya. Penggunaan bahasa pengantar dalam bahasa inggris (atau dwi-bahasa) pun katanya belum dipraktikkan secara efektif. Namanya juga masih rintisan.

Pada akhir tulisan saya, saya sempatkan untuk berbagi cerita di wilayah saya. Di kota saya terdapat 3 SMA Negeri. SMAN 1 adalah yang tertua dan terletak di tengah kota, sedangkan SMAN 2 dan tergolong SMA yang baru (baru sekitar 5-10 tahunan) dan terletak "agak" jauh dari pusat kota. Singkat cerita, SMAN 1 memutuskan untuk menjadi RSBI. Apa dampaknya?

Calon2 siswa yang "kurang kaya", harus memilih satu dari dua SMAN yang ada di pinggir kota atau beralih ke SMK. Kedua sekolah tersebut mesti ditempuh dengan dua jenis angkutan kota yang berbeda, karena jaraknya yang "agak" jauh. Alhasil ini berarti bertambahnya waktu tempuh dan juga biaya transportasi. Di sinilah hal yang bisa saya kategorikan sebagai diskriminasi pendidikan.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar