Selasa, 24 Juli 2012

Bubarkan Petral?

Diambil dari tulisan Bpk. Rhenald Kasali yang dimuat di Kompas pada Maret 2012.

Persoalan transformasi sebenarnya bukanlah mengadopsi hal-hal baru, melainkan membuang persepsi lama yang sudah tidak cocok. Demikianlah kehebohan yang dihadapi para agen perubahan. Tak hanya sistem dan metode, pikiran pun harus diperbarui.

Sampai 1990-an, misalnya, dagang minyak masih merupakan ”hadiah” penguasa kepada para kroni. Produksi minyak nasional per hari masih 1,6 juta barrel. Sebanyak 800.000 barrel diekspor dan 100.000-200.000 barrel jatah makelar dengan bonus sebesar 1 dollar AS per barrel.

Saat itu, Petral dan Permindo sebagai anak perusahaan Pertamina tak ubahnya hanya broker. Sebetulnya, kalau masih berlaku, makelar minyak adalah bisnis yang menggiurkan buat oknum politisi. Bagaimana sekarang?


Perdagangan minyak
Perdagangan minyak pada abad ke-21 adalah bisnis serba cepat. Pilihannya ada di pusat-pusat jejaring perdagangan dunia: London, Dubai, Hongkong, dan Singapura.

Jakarta bisa menjadi pilihan kalau mampu menjadi jalur pusat keuangan (financial hub) dengan suku bunga di bawah 6 persen dan pusat perdagangan (trading hub, dengan pelabuhan yang ramai, disinggahi tanker minyak ukuran sangat besar (very-large crude carriers/VLCC) generasi kelima, dan instrumen perdagangan lengkap). Kualitas tata kelolanya pun harus tinggi.

Ilmu dagang minyak berubah, dari broker ke perdagangan (trading) yang lebih permanen, lebih tak kasatmata (intangibles), seperti reputasi, informasi, dan jaringan keuangan. Celakanya, Indonesia bukan lagi eksportir. Untuk impor 500.000 barrel sehari saja, perusahaan dagang minyak Indonesia butuh modal kerja 60 juta dollar AS.

Bagaimana dengan broker? Ini adalah bisnis eman-eman, tidak permanen, tergantung siapa yang berkuasa, dan diawasi oleh badan-badan internasional karena berhubungan dengan korupsi dan pencucian uang. Modalnya cukup bisik-bisik sambil injak kaki. Maka, bagi saya aneh kalau oknum politisi dibiarkan mengatur perdagangan minyak. Berbahaya dan tidak bisa diterima.

Di Singapura, saya pernah melakukan riset tentang perusahaan dagang (trading company), termasuk Petral. Setelah melalui proses transformasi, sejak 1999 Petral sudah jadi milik Pertamina dan berevolusi dari broker menjadi anak perusahaan yang fokus pada perdagangan (trading arms), seperti Total Trading atau Petronas Trading. Memang cara dagangnya belum canggih, tapi diawasi ketat oleh Singapura.

Perdagangan minyak (oil trading) di Singapura berlomba memengaruhi harga yang tendernya diselenggarakan oleh Platts (Mid Oil of Platts) yang menjadi acuan harga regional. Untuk ikut tender, bisnisnya harus transparan. Setahu saya, sejak 2002 Petral sudah mendapatkan sertifikat Approved Oil Trading Firm yang berhak mendapatkan 5 persen diskon pajak.

Di sinilah masalahnya. Tata kelola yang baik (good governance) adalah musibah bagi broker. Politisi masih berpikir cara lama bahwa dagang minyak bisa dilakukan tabrak lari. Padahal, menjadi negara maju butuh cara berpikir baru. Generasi C (connected, curious, dan cracker generation) sudah lahir dengan kewirausahaan cara baru, tetapi politiknya masih barbar dan bergaya makelar. Tidak dituruti disandera, dituruti mati semua.

Jadi, dagang minyak butuh persatuan, bukan saling menerkam. Tengok saja bagaimana serigala menerkam order minyak Indonesia. Saat kilang Cilacap turun mesin (artinya Indonesia harus impor dalam jumlah besar), dan saat Petral belum tahu, pedagang minyak sudah tahu lebih dulu. Mereka juga bisa menciptakan antrean di pom-pom bensin yang membuat gubernur panik, tetapi di Singapura order harga spot sudah ditunggu.

Jadi, Petral harus diisi orang-orang cerdas berintegritas. Kalau tidak, dipaksa membeli dari pasar spot dengan harga lebih mahal dari kontrak jangka panjang. Minyak spot juga butuh kapal spot yang mahal.

Apa ingin punya eksekutif dagang yang hanya jago membuat justifikasi (bahwa minyak harus dibeli di pasar spot), padahal kepanjangan tangan serigala? Serigala, makelar, dan koruptor adalah sahabat orang-orang yang integritasnya lemah.

Jauhkan politisi
Bagi perusahaan kelas dunia, oil trading company adalah trading arms yang tidak dapat dihindari. Maka, kalau Indonesia ingin ketahanan energinya bagus, perencanaan yang kuat dan tata kelola yang baik adalah kata kuncinya. Saya kira gagasan membubarkan Petral yang diajukan Menteri BUMN Dahlan Iskan adalah sebuah gagasan tulus agar Pertamina bersih dari urusan politik dan Petral jauh dari praktik korupsi. Tetapi, ini harus dijawab dengan argumentasi apakah benar ia lebih layak dibubarkan?

Apa benar kalau ditaruh di Jakarta dan ditangani oleh perusahaan lain jadi lebih baik? Ini adalah sebuah tantangan yang tulus. Kalau ini mau dicapai, Indonesia harus bisa keluar dari perangkap ”pasar spot” dengan isu ”keamanan nasional”. Jelas perencanaan energi nasional harus lebih diperhatikan.

Kedua, daripada dibubarkan yang berarti nilai intangibles-nya bisa hilang, sebaiknya saham Pertamina dan Petral dicatatkan di bursa agar semakin transparan.

Ketiga, ketahanan energi tidak hanya butuh jaminan pasokan dan infrastruktur yang baik. Juga mendesak adalah penanganan terhadap kekacauan politik yang sengaja diciptakan koruptor dan oknum politisi yang menggunakan entitas bisnis sebagai sumber dana pesta demokrasi 2014. Jadi, para politisi hendaknya menjauh dari bisnis minyak. Broker adalah cara-cara pembiayaan kekuasaan masa lalu yang sudah tidak relevan. Saya tak membayangkan kalau Petral dipindahkan ke Jakarta yang belum sanggup menjadi financial hub. Duh Gusti!


Penulis: Rhenald Kasali (Guru Besar Manajemen UI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar