Selasa, 24 Juli 2012

Ekonomi Basamo Balapang-lapang

Tulisan karya Bpk. Rhenald Kasali ini diambil dari Blog Amanda Setiorini, menyebutkan sumber utama dari Jawa Pos terbitan 15 Mei 2011.
“Would you please to translate your book into English?”

Kalimat itu keluar berbarengan dari sejumlah eksekutif puncak pada perusahaan asing, tak lama setelah mendengarkan diskusi terbatas dalam bahasa Inggris tentang buku terbaru saya. Tentu saya senang mendengar keinginan mereka untuk mendalami buku saya. Tetapi dalam sekejap saya berubah pikiran.

Saya katakan tegas, “Nope!”

Saya tanya lagi, “Berapa lama Anda sudah berada di sini?” Apakah Anda serius mengelola perusahaan ini di Indonesia?”  Sepengetahuan saya, perusahaan-perusahaan yang berhasil di sini adalah perusahaan yang eksekutifnya mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Di Axiata, seorang direktur berkebangsaan Filipina memasang puluhan halaman koran lokal yang memuat iklan-iklan pesaing-pesaingnya di seluruh dinding kantornya. Meski sulit, setahun di Indonesia ia berupaya keras belajar bahasa. Di sebuah perusahaan asal Prancis, hal serupa juga sering saya saksikan. Mereka bahkan merekrut anak-anak muda yang pernah aktif di LSM Indonesia untuk memahami negeri ini. Saya melanjutkan, “Kalau ingin berhasil, kalian harus belajar Bahasa. Tidak sulit,” tegas saya.

Memahami Indonesia pun tidak cukup dilakukan dengan membaca peta besar dari harian berbahasa Inggris, atau hasil kajian yang dilakukan kalangan terdidik di kota-kota besar. Indonesia harus dipahami dari serpihan-serpihan kecil yang berserakan di seluruh Nusantara. Kasus berikut ini barangkali dapat menjelaskan bagaimana microfinance tumbuh subur. Bisnis ini dikelola tokoh-tokoh lokal yang mengenal masyarakatnya.

Perhatikanlah petatah-petitih yang populer di Ranah Minang pada judul di atas. “Duduk besamo balapang-lapang.” Lho kok begitu? Bukankah kalau duduk beramai-ramai menjadi sempit dan berbenturan?

Petatah-petitih itu lengkapnya seperti ini.

“Duduk surang basampi-sampi, duduk basamo balapang-lapang.

Duduk sendiri terasa sempit, tapi kalau duduk beramai-ramai terasa lapang. Pepatah ini itu bukan berarti sempit atau lapang secara harafiah. Dalam budaya minang, sempit (basampi-sampi) dalam petatah-petitih itu diartikan sebagai “sulit”, sedangkan lapang (balapang-lapang) diartikan sebagai “bisa melakukan sesuatu.”


Bagaimana Anda menerapkannya?

Inilah yang dilakukan oleh beberapa orang pria asal Bukit Tinggi yang minggu lalu saya minta bicara di kelas program doktor yang saya asuh di UI. Wajah dan penampilannya sederhana. Tetapi diam-diam mereka berhasil menghimpun kekuatan dari 55.000 orang petani. Mahasiswa saya yang kebanyakan adalah eksekutif puncak perusahaan nasional dan pembuat kebijakan terheran-heran, bagaimana seorang petani yang tidak tamat SD bisa mengelola uang petani hingga Rp 90 miliar dalam empat tahun. Kekuatan itu terbagi dalam 300 kelompok. Mereka menamakan dirinya LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis).

Bagaimana ini dimulai?

Tentu bukan dengan proposal atau brosur perusahaan. Semua itu dimulai dari duduk basamo-samo tadi.  Mereka menumpang motor butut mendatangi rumah-rumah petani, mengajak mereka berbicara, menanyakan keinginan mereka dan tidur bermalam di sana. Dari situ mereka mengajukan pertanyaan bagaimana sulitnya menjadi petani, sampai muncul gagasan-gagasan indah tentang bagaimana membuatnya menjadi besar.  Rohnya adalah roh koperasi, tetapi mereka buat simpel dan semua kebutuhan dirancang produknya bersama-sama. Mereka menjadi pemilik lembaga itu bersama-sama, menjadi semacam bank kecil dengan tabungan yang menjawab kebutuhan. Ada tabungan pesta perkawinan (baralek), tabungan ibu hamil, tabungan melahirkan dan tabungan hari raya. Itulah masanya masyarakat butuh uang.

Setiap peminjam harus mendapat persetujuan dari ninik-mamak (paman) dan diketahui datuk (kepala suku). Nama peminjam pun diumumkan secara terbuka, yang kalau pakai hukum perbankan Anda, cara ini  bisa dianggap  melanggar kerahasiaan nasabah. Tetapi biginilah cara adat  mengatasi masalahnya.

Lain lubuk tentu lain ikannya. Di Bali, setiap peminjam  mendapatkan surat dari pecalang (petugas keamanan desa) dan wajib diketahui pedanda (ulama). Kalau di daerah lain, barangkali dibutuhkan keterlibatan ketua RT. Tidak perlu debt collector, apalagi preman berwajah seram untuk menagih tunggakan nasabah. Bila mereka cidera janji, masyarakat adat sudah punya cara sendiri mengatasinya:  nama peminjam beserta ninik-mamak dan datuknya yang nakal siap dibacakan di mesjid.  Tentu saja ini membuat mereka enggan melanggar janji. Praktis tak ada sangsi yang dieksekusi.

Kita bisa belajar banyak dari petatah-petitih, pantun, pepatah atau apapun namanya yang  ada di berbagai wilayah tanah air. Anda tinggal menggalinya dan berselancar di atas kekuatan budaya lokal.

Kata orang Minang, “lamak diawak, katuju dek urang.” Enak untuk kita,  juga harus enak dirasa orang lain. Orang Barat bilang, bisnis itu harus win-win. Dan itulah hukum kerjasama. Sama-sama enak, sama-sama senang, sukses, dan hidup dalam alam yang penuh kepercayaan. Kita perlu membangun perekonomian atas dasar budaya, yang melekatkan kita dan menciptakan suasana damai.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar