Rabu, 25 Juli 2012

Research

Saya begitu menyukai kata ini. Bagi saya kata ini lebih dari sekadar kata "belajar". Saya pun berani mendefinisikan sendiri arti research sesuai dengan keingingan saya. Bagi saya, kata research itu sederhana: yaitu Re yg artinya Kembali dan Search yg artinya Mencari. Mungkin Anda berpikir saya orang yang aneh. Tetapi sepertinya memang saya terlahir menjadi seseorang yang punya nature (bakat alami) dalam hal kata2. Ini makin terkonfirmasi dari hari kelahiran Jawa saya, Senin Kliwon.

Tetapi bukan berarti saya pandai menulis puisi atau sastra. Saya bukan tipe sastrawan, bahkan saat ini saya menyandang status (gelar) sebagai Sarjana Teknik. Saya cenderung lebih bertipe Etymolog. Jadi saya kurang suka menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat yg indah, sebaliknya saya cenderung lebih suka mendalami arti (bahkan hakikat) dan asal dari sebuah kata, khususnya kata2 dalam bahasa inggris.

Itulah sebabnya saya sangat tertarik dengan bahasan dalam buku Aspire: Discovering Your Purpose Through the Power of Words karya Kevin Hall. Saya juga suka jengkel sendiri ketika di televisi ada kata yang salah tulis atau salah ucap (khususnya dalam bahasa inggris). Mungkin terdengar aneh, tetapi itulah saya.

Cukuplah beberapa paragraf di atas yang saya gunakan untuk berbicara (tak penting) tentang siapa saya. Pesan yang ingin saya tulis sebenarnya (tentu saja) bukanlah itu, tetapi saya ingin mendalami dan berbagi tentang arti kata research itu sendiri. Research (atau kemudian saya sebut riset) itu sangat dekat dengan curiosity. Seperti halnya belajar, riset bisa dilakukan dengan atau tanpa komando. Tetapi dengan hanya karena alasan "perintah", dan tanpa didasari "rasa ingin tahu", menurut saya kegiatan riset menjadi kehilangan makna dasarnya.

Dahulu di masyarakat kita, kata riset seakan2 hanya menjadi monopoli kaum akademisi, lebih sempit lagi khusus untuk orang2 sains (IPA). Padahal di luar sana, bahkan seorang animator pun butuh yang namanya proses me-riset. Belakangan, khususnya dengan usaha2 yg dilakukan oleh para penulis buku, pengertian riset mulai bergeser dan meng-global. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku, penulis membutuhkan persiapan dengan melakukan riset. Demikian pula dalam profesi lainnya.

Saya pernah melihat acara televisi Jepang yg menampilkan seorang Art Director, yg bertugas menggambar latar belakang dari suatu proyek film animasi, melakukan riset dengan membawa sebuah kamera dan berkeliling ke daerah pedesaan yang pemandangannya masih sangat alami. Ia mengambil gambar dari sudut2 pandang yg tidak biasa. Sekembalinya ia di studio, ia langsung menggambar sketsa di sebuah kertas gambar. Uniknya, ia tidak menggambarkan hasil foto yg ia ambil secara apa adanya (realis). Ia hanya mengambil inspirasi (energi) dari foto2 yg ia ambil, dan kemudian ia aplikasikan menggunakan warna2 berbeda yg dapat memperkuat energi dari gambar latar belakang tersebut.

Kembali ke tujuan utama blog ini saya buat, lalu apa makna yg bisa dimanfaatkan para pelajar Indonesia terkait dengan riset di lingkungan pendidikan menengah dan tinggi? Di sinilah muncul dilema. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di negara kita banyak terjadi praktik jual beli ijazah. Ini artinya masih ada orang2 yang tidak menghargai proses. Adapun riset adalah sebuah proses untuk menemukan atau mendapatkan suatu hasil atau setidaknya jawaban/kesimpulan tertentu. Inilah sebenarnya esensi dari pendidikan. Kata belajar, seperti yg sering saya ungkapkan, sudah kehilangan makna sejatinya dan menjadi hambar. Belajar saat ini saya nilai sudah tak ubahnya seperti membacakan sesuatu (read out), suatu kegiatan yg belum tentu ada pesan yg diserap. Di tingkat yg sedikit lebih tinggi, belajar hanya merupakan proses yg melibatkan aspek kognitif dari diri kita (baca juga tulisan Pak Rhenald Kasali berjudul Lima Senti).

Oleh karena itu saya menganggap penting bahwa guru saat ini perlu membimbing para pelajar untuk membiasakan diri melakukan proses riset, alih2 sekadar belajar. Apa bentuk konkret-nya? Proses riset harus ditutup dengan suatu keluaran. Dalam bentuk yg paling sederhana adalah berupa laporan tertulis atau rangkuman (juga ada yg menyebut paper). Ternyata cliche ya? Pelajar saat ini kan sudah umum diberi tugas menulis paper? Benar sekali! Namun tanpa diberi pengertian, tentang apa tujuan dari menulis paper, pelajar menjadi kehilangan arah, kurang termotivasi dan menebak2 sendiri tujuan dari diberikannya tugas tersebut. Akhirnya, tugas dikerjakan secara asal-asalan. Sebenarnya istilah pemberian tugas "menulis paper" juga sedikit potong kompas. Yang lebih tepat adalah tugas "me-riset topik" tertentu, dan hasilnya dilaporkan dalam bentuk paper.

Saya sangat berharap dari tulisan saya yang rumit ini semoga ada pesan yg bermanfaat dan inspiratif untuk pembaca sekalian. Bila ada yg bisa menangkap suatu pesan dari tulisan yg saya tulis ini, sangat saya harapkan Anda membaginya kepada pembaca melalui Komentar di bagian bawah. Komentar lain di luar itu juga sangat saya harapkan.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar